Pemilu legislatif tahun 2009 telah usai. Ada calon legislatif (caleg) yang senang dan ada pula yang sedih dengan hasil pemilu. Senang tentunya dikarenakan perolehan suara pemilu mendukung caleg tersebut untuk mendapatkan sebuah kursi sebagai wakil rakyat. Sebaliknya, perolehan suara yang kecil tak jarang menjadikan seorang caleg stress, depresi, bahkan nekat menghabisi hidupnya.
Fenomena-fenomena caleg stress di Indonesia cukup beragam dan memprihatinkan. Bahkan gejala stress tidak hanya menghinggapi sang caleg, tetapi juga tim suksesnya. Di Medan, seorang caleg dari PDIP, Pahala Sanipar, ditemukan tewas di kediamannya setelah menegak obat pembasmi serangga. Seorang tim sukses salah saru caleg di kota ini juga memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Ada juga kasus-kasus kecil yang mengindikasikan bahwa seorang caleg mengalami stress: penarikan kembali bantuan-bantuan yang diberikan kepada rakyat pra-pemilu, pemblokiran jalan, dan penggusuran
Ironis, perbaikan sistem bernegara melalui mekanisme demokrasi yang diwujudkan pada pesta akbar pemilu harus berakhir pada ketidakstabilan aktor-aktor demokrasi itu sendiri. Hal ini tentu saja menggambarkan bahwa sebenarnya ada yang salah dalam mekanisme demokrasi di Indonesia. Kacaunya sistem kaderisasi partai, caleg instan, hingga pendidikan moral-spiritual anak bangsa yang minim mewakili beberapa variabel kecil yang menjadi penyebab fakta ironi tersebut
Konstruksi pandangan hidup baru
Banyak pendapat masyarakat Indonesia mengenai fenomena terjadinya stress di kalangan caleg ini. Ada yang mengatakan bahwa ketidaktegasan pemilih (menerima sumbangan dari caleg walupun enggan memilih padahal bagi caleg menerima sumbangan berarti suara), rendahnya iman, bahkan tidak cerdasnya seorang caleg secara emosional. Maka untuk mengurangi dampak stress variabel-variabel tersebut harus hilangkan.
Namun, menurut penulis, untuk meminimalisir dampak spemilu ini, diperlukan konstruksi baru tentang pandangan hidup yang harus ditanamkan pada calon legislatif sebagai sebuah landasan moral-spiritual. Pertama, kesadaran bahwa tidak semua yang dicita-citakan manusia akan terwujud. dapat dibayangkan bahwa ketika semua cita-cita manusia terwujud, maka kekacauanlah yang akan terjadi. Misalnya, kekacauan proses pemerintahan negara ini justru akan terjadi ketika cita-cita semua calon presiden terkabul.
Kedua, kesadaran bahwa terkadang kita menolak apa yang sebenarnya baik dan menerima hal buruk bagi kita. Artinya, kita tidak mengerti dengan pasti kebaikan dan keburukan yang terjadi di masa mendatang. Untuk itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam menentukan langkah. Pandangan hidup terakhir adalah belajar untuk mencintai. Mencintai dapat dimaknai sebagai sebuah ketulusan, dan dalam tingkat tertentu adalah keikhlasan. Mencintai Indonesia berarti tidak menuntut Indonesia namun justru memberikan yang terbaik bagi Indonesia.
Dalam konteks pemilu, pandangan ini cukup konstruktif bagi calon legislatif. pandangan pertama berguna untuk menanamkan rasa lapang dada di hati para caleg. Sedangkan pandangan kedua mendorong caleg untuk berhati-hati dan memilih jalan baik dalam mewujudkan cita-cita guna menghindari resiko kegagalan. Sedangkan pandangan ketiga, mencintai Indonesia, dalam konteks pemilu, berarti menerima keputusan yang diambil oleh Indonesia walaupun hal itu tidak menjadikannya anggota legislatif. Harapannya, dengan penanaman nilai ini, pemilu menjadi ajang yang mencerdaskan secara intelektual, emosional maupun spiritual bukan menambah beban negara akibat bertabahnya rakyat yang tergolog sakit.
Fenomena-fenomena caleg stress di Indonesia cukup beragam dan memprihatinkan. Bahkan gejala stress tidak hanya menghinggapi sang caleg, tetapi juga tim suksesnya. Di Medan, seorang caleg dari PDIP, Pahala Sanipar, ditemukan tewas di kediamannya setelah menegak obat pembasmi serangga. Seorang tim sukses salah saru caleg di kota ini juga memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Ada juga kasus-kasus kecil yang mengindikasikan bahwa seorang caleg mengalami stress: penarikan kembali bantuan-bantuan yang diberikan kepada rakyat pra-pemilu, pemblokiran jalan, dan penggusuran
Ironis, perbaikan sistem bernegara melalui mekanisme demokrasi yang diwujudkan pada pesta akbar pemilu harus berakhir pada ketidakstabilan aktor-aktor demokrasi itu sendiri. Hal ini tentu saja menggambarkan bahwa sebenarnya ada yang salah dalam mekanisme demokrasi di Indonesia. Kacaunya sistem kaderisasi partai, caleg instan, hingga pendidikan moral-spiritual anak bangsa yang minim mewakili beberapa variabel kecil yang menjadi penyebab fakta ironi tersebut
Konstruksi pandangan hidup baru
Banyak pendapat masyarakat Indonesia mengenai fenomena terjadinya stress di kalangan caleg ini. Ada yang mengatakan bahwa ketidaktegasan pemilih (menerima sumbangan dari caleg walupun enggan memilih padahal bagi caleg menerima sumbangan berarti suara), rendahnya iman, bahkan tidak cerdasnya seorang caleg secara emosional. Maka untuk mengurangi dampak stress variabel-variabel tersebut harus hilangkan.
Namun, menurut penulis, untuk meminimalisir dampak spemilu ini, diperlukan konstruksi baru tentang pandangan hidup yang harus ditanamkan pada calon legislatif sebagai sebuah landasan moral-spiritual. Pertama, kesadaran bahwa tidak semua yang dicita-citakan manusia akan terwujud. dapat dibayangkan bahwa ketika semua cita-cita manusia terwujud, maka kekacauanlah yang akan terjadi. Misalnya, kekacauan proses pemerintahan negara ini justru akan terjadi ketika cita-cita semua calon presiden terkabul.
Kedua, kesadaran bahwa terkadang kita menolak apa yang sebenarnya baik dan menerima hal buruk bagi kita. Artinya, kita tidak mengerti dengan pasti kebaikan dan keburukan yang terjadi di masa mendatang. Untuk itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam menentukan langkah. Pandangan hidup terakhir adalah belajar untuk mencintai. Mencintai dapat dimaknai sebagai sebuah ketulusan, dan dalam tingkat tertentu adalah keikhlasan. Mencintai Indonesia berarti tidak menuntut Indonesia namun justru memberikan yang terbaik bagi Indonesia.
Dalam konteks pemilu, pandangan ini cukup konstruktif bagi calon legislatif. pandangan pertama berguna untuk menanamkan rasa lapang dada di hati para caleg. Sedangkan pandangan kedua mendorong caleg untuk berhati-hati dan memilih jalan baik dalam mewujudkan cita-cita guna menghindari resiko kegagalan. Sedangkan pandangan ketiga, mencintai Indonesia, dalam konteks pemilu, berarti menerima keputusan yang diambil oleh Indonesia walaupun hal itu tidak menjadikannya anggota legislatif. Harapannya, dengan penanaman nilai ini, pemilu menjadi ajang yang mencerdaskan secara intelektual, emosional maupun spiritual bukan menambah beban negara akibat bertabahnya rakyat yang tergolog sakit.