Rabu, 22 April 2009

Konstrusksi Pandangan Hidup Calon Legislatif

M Lizamul Widad F

Pemilu legislatif tahun 2009 telah usai. Ada calon legislatif (caleg) yang senang dan ada pula yang sedih dengan hasil pemilu. Senang tentunya dikarenakan perolehan suara pemilu mendukung caleg tersebut untuk mendapatkan sebuah kursi sebagai wakil rakyat. Sebaliknya, perolehan suara yang kecil tak jarang menjadikan seorang caleg stress, depresi, bahkan nekat menghabisi hidupnya.

Fenomena-fenomena caleg stress di Indonesia cukup beragam dan memprihatinkan. Bahkan gejala stress tidak hanya menghinggapi sang caleg, tetapi juga tim suksesnya. Di Medan, seorang caleg dari PDIP, Pahala Sanipar, ditemukan tewas di kediamannya setelah menegak obat pembasmi serangga. Seorang tim sukses salah saru caleg di kota ini juga memilih mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Ada juga kasus-kasus kecil yang mengindikasikan bahwa seorang caleg mengalami stress: penarikan kembali bantuan-bantuan yang diberikan kepada rakyat pra-pemilu, pemblokiran jalan, dan penggusuran

Ironis, perbaikan sistem bernegara melalui mekanisme demokrasi yang diwujudkan pada pesta akbar pemilu harus berakhir pada ketidakstabilan aktor-aktor demokrasi itu sendiri. Hal ini tentu saja menggambarkan bahwa sebenarnya ada yang salah dalam mekanisme demokrasi di Indonesia. Kacaunya sistem kaderisasi partai, caleg instan, hingga pendidikan moral-spiritual anak bangsa yang minim mewakili beberapa variabel kecil yang menjadi penyebab fakta ironi tersebut

Konstruksi pandangan hidup baru

Banyak pendapat masyarakat Indonesia mengenai fenomena terjadinya stress di kalangan caleg ini. Ada yang mengatakan bahwa ketidaktegasan pemilih (menerima sumbangan dari caleg walupun enggan memilih padahal bagi caleg menerima sumbangan berarti suara), rendahnya iman, bahkan tidak cerdasnya seorang caleg secara emosional. Maka untuk mengurangi dampak stress variabel-variabel tersebut harus hilangkan.

Namun, menurut penulis, untuk meminimalisir dampak spemilu ini, diperlukan konstruksi baru tentang pandangan hidup yang harus ditanamkan pada calon legislatif sebagai sebuah landasan moral-spiritual. Pertama, kesadaran bahwa tidak semua yang dicita-citakan manusia akan terwujud. dapat dibayangkan bahwa ketika semua cita-cita manusia terwujud, maka kekacauanlah yang akan terjadi. Misalnya, kekacauan proses pemerintahan negara ini justru akan terjadi ketika cita-cita semua calon presiden terkabul.

Kedua, kesadaran bahwa terkadang kita menolak apa yang sebenarnya baik dan menerima hal buruk bagi kita. Artinya, kita tidak mengerti dengan pasti kebaikan dan keburukan yang terjadi di masa mendatang. Untuk itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam menentukan langkah. Pandangan hidup terakhir adalah belajar untuk mencintai. Mencintai dapat dimaknai sebagai sebuah ketulusan, dan dalam tingkat tertentu adalah keikhlasan. Mencintai Indonesia berarti tidak menuntut Indonesia namun justru memberikan yang terbaik bagi Indonesia.

Dalam konteks pemilu, pandangan ini cukup konstruktif bagi calon legislatif. pandangan pertama berguna untuk menanamkan rasa lapang dada di hati para caleg. Sedangkan pandangan kedua mendorong caleg untuk berhati-hati dan memilih jalan baik dalam mewujudkan cita-cita guna menghindari resiko kegagalan. Sedangkan pandangan ketiga, mencintai Indonesia, dalam konteks pemilu, berarti menerima keputusan yang diambil oleh Indonesia walaupun hal itu tidak menjadikannya anggota legislatif. Harapannya, dengan penanaman nilai ini, pemilu menjadi ajang yang mencerdaskan secara intelektual, emosional maupun spiritual bukan menambah beban negara akibat bertabahnya rakyat yang tergolog sakit.

Selasa, 03 Maret 2009

keluarga: solusi kekerasan

Ahmad Mufarrih Hasan Fadly


Keluaraga adalah lembaga terkecil dalam masyarakat, yang kehadirannya bersentuhan langsung dengan individu secara personal dan intim. Interaksi yang terjadi dalam keluarga lebih banyak berkesan karena hubungan yang terjadi adalah hubungan darah, Disinilah tempat dimana individu belajar bersosialisasi untuk pertama kali dalam hidup mereka. Setiap individu akan merekam kesan-kesan dan mencoba untuk mengetahui apa yang mereka perlukan di dalam kehidupannya.

Pendidikan di dalam keluarga merupakan aspek penting. Pendidikan adalah faktor utama yang sangat berpengaruh dalam pembentukan individu nantinya. Bagaimana individu ini keluar dari lembaga keluarga dan berinteraksi dengan masyarakat, pendidikanlah yang sangat berperan. Pendidikan yang terjadi di keluarga tidak hanya bersifat teoritis seperti di sekolah, tapi langsung berupa implementasi, bagaimana seseorang menjalani kehidupan. Seorang anak akan lebih mudah untuk meniru tingkah laku orang tuanya. Apapun yang dikatakan orang tuanya bisa menjadi suatu pelajaran. Semua yang terjadi adalah pendidikan yang begitu berpengaruh dalam perkembangan seorang individu.

Selain sebagai tempat merekam kesan-kesan sosial dan sebagai kontrol sosial, keluarga juga berperan penting dalam penanaman budi pekerti. Bagaimana seorang individu, belajar untuk bersikap, entah itu dengan sesama manusia ataupun dengan alam sekitarnya. Mereka akan belajar untuk menempatkan diri, dan bersikap sesuai dengan apa yang mereka hadapi. Ayah akan berlajar memperlakukan anak selayaknya ayah berlaku, begitupun anak terhadap ayahnya. Bagaimana ibu berinteraksi dengan anak dan bagaimana anggota keluarga bersikap terhadap lingkungan mereka, dengan orang-orang di luar lingkaran keluarga.

Ketika keluarga tidak berfungsi seperti di atas maka individu yang terbentuk adalah individu-individu yang begitu asosial, mereka akan mencari komunitas sendiri yang mereka rasa membuat mereka nyaman. Ketika ini terjadi kita tidak bisa menjamin apakah yang mereka dapatkan dari kelompok mereka adalah sesuatu yamg bisa menjadikan mereka manusia yang baik, menurut tatanan sosial.

Beberapa hari ini ramai terdengar tentang fakta-fakta mengejutkan tentang kekerasan yang dilakukan beberapa oknum siswa, ataupun anggota masyarakat yang lain, fenomena yang terjadi ini tidak lepas dari fungsi keluarga yang sudah tidak berperan lagi. Inilah saatnya kita tidak hanya memandang remeh keluarga, kita harus memandangnya sebagai instrumen masyarakat yang sangat penting. instrumen yang bisa mengontrol pola pikir dan menjadi tempat dimana individu dididik, dan diajarkan untuk berbudaya anti kekerasan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pendidikan dalam sekolah yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu yang berorientasi pada kerja seperti di Negara kita ini.

Kiranya masyarakat kita perlu menyadari bahwa keadaan keluarga, ataupun pendidikan dalam keluarga merupakan hal yang begitu berpengaruh terhadap perkembangan individu, dalam hal ini anak misalnya. Para anggota keluarga harus sadar betul dengan peran mereka di dalam keluarga, lingkungan yang kondusif di dalam keluarga akan mengurangi kemungkinan terjadinya pola berpikir tentang kekerasan. Keluarga harus bisa membentuk karakter berfikir anti kekerasan bagi anggota keluarga, terutama anak yang sedang mengalami masa pubertas yang penuh dengan keinginan untuk dihargai eksistensinya.

pekerjaan dan kekerasan: dinamika perebutan kapital

M.Lizamul Widad

Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan bagaimana manusia tersebut berhubungan satu sama lain. Ini tidak lain karena manusia merupakan makhluk sosial, yang keberadaannya membutuhkan dan dibutuhkan manusia lain. Manusia mengaktualisasikan hubungan sosial tersebut dalam setiap lingkup aktifitas sosialnya. berupa keluarga, pekerjaan, organisasi, sampai pada kehidupan bermasyarakat secara luas. Untuk membentuk keharmonisan dan kekohesifan dalam melakukan interaksi antar individu dalam kelompok sosial tersebut. Manusia menciptakan nilai-nilai dan etika yang disepakati bersama. Misalnya, saling menyayangi dalam keluarga, visi dan misi dalam setiap organisasi, hingga semangat gotong royong di masyarakat.

Idealnya memang hubungan manusia dikonstruksikan seperti hal diatas. Seiring berjalannya waktu, terjadi berbagai pergeseran nilai-nilai sosial masyarakat di Indonesia. Dalam dimensi pekerjaan, dengan adanya modernisasi dan industrialisasi di negara ini, tumbuh kawasan-kawasan industri yang bersifat given bagi masyarakat dan terpusat di suatu kawasan. Given disini menunjukan bahwa proses ini tidak timbul dari keinginan masyarakat, tetapi disuntikkan. Ada berbagai efek samping yang ditimbulkan oleh gejala ini. Pertama, ketidaksiapan masyarakat sekitar untuk beradaptasi dengan pola hidup industrialis. Maka daya saing masyarakat lokal akan turun dan mereka terancam tidak memiliki pekerjaan.

Kedua,perputaran uang akan berpusat di kawasan industri dan sekitarnya. Perputaran uang yang memusat ini juga mengindikasikan berpusatnya kesejahteraan. Bagi masyarakat yang hidup di ambang kemiskinan, fakta-fakta ini terlihat menggiurkan, dan selanjutnya yang terjadi adalah maraknya Urbanisasi. ketiga, perputaran uang dan kesejahteraan yang terpusat membangun “strata” dalam pekerjaan. Strata ini membuat presepsi di masyarakat bahwa suatu pekerjaan itu bersifat baik atau buruk. Pengukuran baik-buruknya pekerjaan berdasarkan berapa besar akumulasi kapital yang dihasilkan pekerjaan itu. hal ini berarti pekerjaan di pusat industri adalah baik karena lebih menjanjikan kapital daripada pekerjaan di daerah pelosok (misal:pegawai baik, petani jelek). Lagi-lagi akibat yang ditimbulkan adalah urbanisasi untuk mendapatkan kapital.

Masalah baru timbul ketika urbanisasi terus meningkat dan pusat industri tidak mampu memenuhi lapangan pekerjaan yang cukup bagi para pendatang. Pengangguran dan kemiskinan terus merebak. Dapat ditebak efek domino selanjutnya. Kemiskinan kaum urban berarti pula kemiskinan kaum yang hidupnya bergantung pada hasil berurbanisasi. Dan hasil akhirnya, pemiskinan sistemik oleh kehidupan sosial masyarakat. Dengan tekanan akan pemenuhan kebutuhan oleh para urban dan keluargannya, jalan pintas yang paling mudah bagi mereka adalah perampasan, perampokan, pencurian dan segala kekerasan lain demi mendapatkan kapital. Tidaklah heran mengapa kriminalitas di negeri ini terus meningkat sampai-sampai stasiun televisi dapat menyiarkan berita kriminal setiap harinya.

Dengan sejumlah fakta diatas, menurut penulis solusi paling memungkinkan adalah pemerataan. Pemerataan SDM di seluruh wilayah yang selama ini memang belum terjamah melalui program transmigrasi, disertai dengan pemerataan infrastruktur berupa sarana tranasportasi, komunikasi, pendidikan, akses kapital dan lain sebagainya. Dengan pemerataan, lambat laun kesenjangan-kesenjangan ekonomi, sosial, dan pekerjaan di berbagai daerah akan berkurang dan manusia akan dapat memilih pekerjaan sesuai yang diminati tanpa harus teraleniasi.