Presespsi mengenai pria maupun wanita dicerminkan pada fungsi kedua elemen ini dalam kehidupan masyarakat suatu daerah. fungsi-fungsi inilah yang merepresentasikan bagaimana peranan setiap elemen di setiap kasusnya. Peranan ini ketika dilakukan secara kontinu akan timbul citra terhadap keberadaan pria maupun wanita dalam suatu komunitas. Citra-citra inilah yang melandasi keberadaan kutub budaya di dunia. Terutama paternalistic dan maternalistic.
Budaya paternitas dan maternitas yang membumi ini menjadikan presepsi seseorang terhadap keberadaan pria dan wanita berbeda. Sejarah keberdaan budaya ini sendiri tidaklah berada pada waktu yang sama. paternitas muncul setelah lemahnya budaya maternitas. Budaya maternitas berawal dari kuatnya citra ibu dalam prespektif agama pra-masehi (setelah 221SM)-Arnold Toynbee; mankind and mother earth-. Citra ibu berupa pusat regenerasi dan penerus keturunan melalui kelahiran, sifat lembut dan pengayom bagi keturunannya Yang diimplikasikan dalam bentuk bantuan terhadap perkembangan keturunan menjadikan Ibu begitu dihormati. Tentu saja hal ini berimbas pada pandangan terhadap calon ibu. Maka kala itu wanita menjadi makhluk paling mulia dalam peradaban manusia. Namun sifat konsisten yang cenderung berorientasi internal ini merupakan posisi yang rawan. Terutama adanya perubahan peradaban yang begitu cepat dan memerlukan pengambil keputusan yang tegas dalam menyikapi perubahan itu. Didorong oleh tekanan ini dan munculnya pengetahuan bahwa wanita tidak dapat hamil menumbuhkan budaya paternitas pada peradaban umat manusia. Sayangnya sikap manusia dahulu yang cenderung emosional dan mengagungkan suatu penemuan menyebabkan fanatisme. Sifat fanatik ini memunculkan perlakuan yang mendiskreditkan budaya yang lain, terutama yang berseberangan faham. Inilah yang menyebabkan budaya maternitas di anggap buruk. Imbasnya pun pada pandangan terhadap kaum wanita. Implikasinya bisa berupa pelecehan dan diskriminasi, terbukti pada budaya perbudakan.
Pandangan keberadaan dan mempresepsikan wanita dalam konteks Indonesia tidak berhenti pada pandangan ini saja. Budaya plural yang ada di Indonesia serta pengaruh budaya asing yang masuk ke tanah air. Terutama budaya yang dibawa oleh penganut hindu-budha. Budaya yang dibawa menekankan perbedaan derajat manusia dalam berbagai kasta. Lebih parahnya, penggolongan ini didukung dengan presepsi perbedaan yang mencolok antarkasta. Sehingga, terbentuklah hierarki pada status manusia dalam bermasyarakat. Hierarki ini bersifat tetap dan sakral, untuk membedahnya pun akan timbul konflik didalamnya. Bahkan, ketika suatu anggota ingin membaur dengan kasta lain (melalui pernikahan) tidak dapat diakomodir karena kastasentrik yang kuat. Kasta sentrik ini timbul karena sarana penyebaran budaya ini mengakar melalu agama yang bernuansa bersifat dogmatis. Dalam keadaan ini masyarakat pun tidak dapat melawan, karena perlawanan merupakan suatu hal yang tabu.
Dalam perjalanannya, manusia Indonesia sebenarnya telah mendapatkan rumusan yang tepat dalam mengatasi permasalahan ini. melalui pemikiran empu tantular yang ditulis dalam kitab sutasoma, bhineka tunggal ika menggema menjadi sebuah jalan alternatif pemecahan masalah perbedaan presepsi akan fungsi manusia dalam bermasyarakat. Sayangnya, hal ini ditafsirkan secara keliru oleh Gadjah Mada. Semangat kebhinekaan yang seharusnya ditekankan justru dikesampingkan demi munculnya semangat kepanunggalan (tunggal ika). Implikasinya Gadjah Mada mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menaklukkan bermacam-macam kerajaan dan wilayah guna mempersatukan perbedaan-perbedaan itu. padahal penyatuan presepsi yang baik bukan dengan cara pemaksaan kehendak bahwa suatu presepsi merupakan yang terbaik dari yang lainnya, Namun akulturasi budaya, pemikiran dan pandangan yang baik melalui penghargaan budaya, pemikiran dan pandangan tersebut sehingga terjadi penyerapan nilai-nilai yang baik antar budaya, pemikiran dan pandangan tersebut. [lizam]
Minggu, 14 Desember 2008
Menyikapi Kondisi Keuangan Kita
Di dunia modern ini, uang selalu melekat dalam realita kehidupan setiap orang. Tak seperti zaman peradaban lama, keberhasilan manusia diukur dengan keberhasilannya mengumpulkan barang. Selain itu, ketika kita ingin memiliki suatu barang, bersiaplah untuk mengorbankan sejumlah barang kita untuk dipertukarkan. selanjutnya dapat dibayangkan setiap orang akan merasakan bagaimana sulitnya menukar suatu barang ketika barang-barang tersebut dirasa tidak memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Yah, fungsi barang kala itu tidak hanya menjadi alat pengumpul kekayaan tetapi juga alat tukar. Seiring bertambah moncernya ilmu pengetahuan manusia, muncul uang sebagai pengganti fungsi barang di atas. Dan uang ini merupakan representasi nilai yang melekat dalam suatu barang.
Pada saat ini, persebaran uang pada setiap orang sudah sulit menghitung berapa rasionya. Ada yang memiliki uang dalam jumlah banyak, adapula yang sedikit. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Kemudian bagaimana kita menyikapinya? Apa yang dijadikan standar kekayaan seseorang? Bagaimana hukum menambah kekayaan bagi orang yang sudah kaya dalam prespektif islam?.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, lebih baik bagi kita untuk mengetahui standar kekayaan seseorang dalam prespektif islam. Dalam islam sendiri membagi standar kekayaan menjadi dua(Abdullah Lam:fiqih finansial). Yaitu standar kekayaan minimal dan standar kekayaan maksimal. Standar kekayaan minimal pada dasarnya merupakan standar kecukupan manusia. Kriteria standar kecukupan ini adalah segala sesuatu yang memenuhi segala kebutuhan pokok manusia dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak. Tingkat berkecukupan ini bukan hanya sampai pada bisa bertahan hidup. Untuk itu para ulama menekankan bahwa standar kecukupan akan berbeda-beda setiap zaman, tempat dan orang-orangnya. Selanjutnya mereka memasukkan beberapa kebutuhan pokok standar yang bisa dijadikan acuan. Antara lain: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, biaya pendidikan, pelunasan hutang, biaya kesehatan, biaya pernikahan dan alat-alat produksi.
Sedangkan standar kekayaan maksimal, ada dua pendapat ekstrim. Madzhab Abu Dzar mengungkapkan bahwa standar kekayaan maksimal adalah sejumlah harta benda yang dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan selebihnya diberi hukum haram. Landasan yang dipakai oleh Abu Dzar adalah Surat At-Taubah: 34-35. Pemahaman Abu Dzar dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kelebihan harta yang dimiliki seseorang bukanlah disimpan akan tetapi harus digunakan dijalan Allah. Pendapat kedua adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa batasan maksimal dari kekayaan seseorang dalam islam tidak ada, karena islam tidak melarang seseorang mengumpulkan harta benda semampunya selama dia menjaga kaidah-kaidah dalam berusaha dan menggunakan hartanya.
Dalam pandangan islam sendiri ada berbagai macam hukum mencari kekayaan. Ada kalanya mencari harta hukumnya wajib, sunnah, mubah, bahkan sampai makruh dan haram(Abdullah Lam:fiqih finansial). Harta wajib didapat ketika hal itu ditujukan untuk mencukupu diri sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungan serta untuk memenuhi kewajiban yang menjadi hak orang lain. Hukum mencari harta berubah menjadi sunnah ketika seseorang berusaha menambah hartanya meski telah mencapai standar kecukupan dengan niat menolong fakir miskin, anak yatim dan lain-lain. Mubah dihukumkan bagi pencari kekayaan yang ingin melapangkan kehidupannya walaupun ia sudah berada dalam standar kecukupan. Proses pencarian kekayaan yang berakibat ditinggalkanya ibadah sunnah menjadikannya makruh hukumnya. Dan terakhir pencarian harta dengan cara yang haram, dapat meninggalkan ibadah wajib dan nantinya harta digunakan untuk kegiatan maksiat menjadikan mencari harta hukumnya haram.
Ulasan di atas ini setidaknya telah memberikan gambaran bagi kita bagaimana seharusnya kita menyikapi kondisi keuangan kita. Ketika kita berada di posisi sebagai seorang hartawan, syariatpun tidak membatasi kita untuk menghentikan pencarian kita akan harta. Bahkan menjadi hal yang sunnah ketika harta tersebut diniatkan untuk kemaslahatan umat. Bagi kita yang berada di posisi sebagai seorang “fakir”, penuturan ini bisa dijadikan sebagai api semangat karena mencari harta untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungan adalah sebuah kewajiban. Selanjutnya kata-kata “fakir dekat dengan kafir” tidak melekat pada kaum muslim. Persiapan awal yang harus direnungkan oleh setiap umat islam adalah bagaimana menyiapkan sebuah sistem yang mengakomodir ketentuan syariat maupun fenomena perubahan alat hitung kekayaan dari barang menjadi uang. Sehingga keberadaan uang menilai sebuah kekayaan riil, bukan menilai nilai dari kekayaan riil tersebut (melalui jual-beli uang). Dampaknya, pengukuran kekayaan akan menjadi lebih fair ketika hal yang diukur merupakan suatu yang Nampak/riil. Kemudian apakah sistem ekonomi islam dapat mengakomodir hal ini. wallahua’lam.[lizam]
Pada saat ini, persebaran uang pada setiap orang sudah sulit menghitung berapa rasionya. Ada yang memiliki uang dalam jumlah banyak, adapula yang sedikit. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Kemudian bagaimana kita menyikapinya? Apa yang dijadikan standar kekayaan seseorang? Bagaimana hukum menambah kekayaan bagi orang yang sudah kaya dalam prespektif islam?.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, lebih baik bagi kita untuk mengetahui standar kekayaan seseorang dalam prespektif islam. Dalam islam sendiri membagi standar kekayaan menjadi dua(Abdullah Lam:fiqih finansial). Yaitu standar kekayaan minimal dan standar kekayaan maksimal. Standar kekayaan minimal pada dasarnya merupakan standar kecukupan manusia. Kriteria standar kecukupan ini adalah segala sesuatu yang memenuhi segala kebutuhan pokok manusia dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak. Tingkat berkecukupan ini bukan hanya sampai pada bisa bertahan hidup. Untuk itu para ulama menekankan bahwa standar kecukupan akan berbeda-beda setiap zaman, tempat dan orang-orangnya. Selanjutnya mereka memasukkan beberapa kebutuhan pokok standar yang bisa dijadikan acuan. Antara lain: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, biaya pendidikan, pelunasan hutang, biaya kesehatan, biaya pernikahan dan alat-alat produksi.
Sedangkan standar kekayaan maksimal, ada dua pendapat ekstrim. Madzhab Abu Dzar mengungkapkan bahwa standar kekayaan maksimal adalah sejumlah harta benda yang dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan selebihnya diberi hukum haram. Landasan yang dipakai oleh Abu Dzar adalah Surat At-Taubah: 34-35. Pemahaman Abu Dzar dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kelebihan harta yang dimiliki seseorang bukanlah disimpan akan tetapi harus digunakan dijalan Allah. Pendapat kedua adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa batasan maksimal dari kekayaan seseorang dalam islam tidak ada, karena islam tidak melarang seseorang mengumpulkan harta benda semampunya selama dia menjaga kaidah-kaidah dalam berusaha dan menggunakan hartanya.
Dalam pandangan islam sendiri ada berbagai macam hukum mencari kekayaan. Ada kalanya mencari harta hukumnya wajib, sunnah, mubah, bahkan sampai makruh dan haram(Abdullah Lam:fiqih finansial). Harta wajib didapat ketika hal itu ditujukan untuk mencukupu diri sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungan serta untuk memenuhi kewajiban yang menjadi hak orang lain. Hukum mencari harta berubah menjadi sunnah ketika seseorang berusaha menambah hartanya meski telah mencapai standar kecukupan dengan niat menolong fakir miskin, anak yatim dan lain-lain. Mubah dihukumkan bagi pencari kekayaan yang ingin melapangkan kehidupannya walaupun ia sudah berada dalam standar kecukupan. Proses pencarian kekayaan yang berakibat ditinggalkanya ibadah sunnah menjadikannya makruh hukumnya. Dan terakhir pencarian harta dengan cara yang haram, dapat meninggalkan ibadah wajib dan nantinya harta digunakan untuk kegiatan maksiat menjadikan mencari harta hukumnya haram.
Ulasan di atas ini setidaknya telah memberikan gambaran bagi kita bagaimana seharusnya kita menyikapi kondisi keuangan kita. Ketika kita berada di posisi sebagai seorang hartawan, syariatpun tidak membatasi kita untuk menghentikan pencarian kita akan harta. Bahkan menjadi hal yang sunnah ketika harta tersebut diniatkan untuk kemaslahatan umat. Bagi kita yang berada di posisi sebagai seorang “fakir”, penuturan ini bisa dijadikan sebagai api semangat karena mencari harta untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungan adalah sebuah kewajiban. Selanjutnya kata-kata “fakir dekat dengan kafir” tidak melekat pada kaum muslim. Persiapan awal yang harus direnungkan oleh setiap umat islam adalah bagaimana menyiapkan sebuah sistem yang mengakomodir ketentuan syariat maupun fenomena perubahan alat hitung kekayaan dari barang menjadi uang. Sehingga keberadaan uang menilai sebuah kekayaan riil, bukan menilai nilai dari kekayaan riil tersebut (melalui jual-beli uang). Dampaknya, pengukuran kekayaan akan menjadi lebih fair ketika hal yang diukur merupakan suatu yang Nampak/riil. Kemudian apakah sistem ekonomi islam dapat mengakomodir hal ini. wallahua’lam.[lizam]
Langganan:
Postingan (Atom)