Minggu, 14 Desember 2008

PERANAN SEJARAH DALAM MEMPRESEPSIKAN WANITA

Presespsi mengenai pria maupun wanita dicerminkan pada fungsi kedua elemen ini dalam kehidupan masyarakat suatu daerah. fungsi-fungsi inilah yang merepresentasikan bagaimana peranan setiap elemen di setiap kasusnya. Peranan ini ketika dilakukan secara kontinu akan timbul citra terhadap keberadaan pria maupun wanita dalam suatu komunitas. Citra-citra inilah yang melandasi keberadaan kutub budaya di dunia. Terutama paternalistic dan maternalistic.
Budaya paternitas dan maternitas yang membumi ini menjadikan presepsi seseorang terhadap keberadaan pria dan wanita berbeda. Sejarah keberdaan budaya ini sendiri tidaklah berada pada waktu yang sama. paternitas muncul setelah lemahnya budaya maternitas. Budaya maternitas berawal dari kuatnya citra ibu dalam prespektif agama pra-masehi (setelah 221SM)-Arnold Toynbee; mankind and mother earth-. Citra ibu berupa pusat regenerasi dan penerus keturunan melalui kelahiran, sifat lembut dan pengayom bagi keturunannya Yang diimplikasikan dalam bentuk bantuan terhadap perkembangan keturunan menjadikan Ibu begitu dihormati. Tentu saja hal ini berimbas pada pandangan terhadap calon ibu. Maka kala itu wanita menjadi makhluk paling mulia dalam peradaban manusia. Namun sifat konsisten yang cenderung berorientasi internal ini merupakan posisi yang rawan. Terutama adanya perubahan peradaban yang begitu cepat dan memerlukan pengambil keputusan yang tegas dalam menyikapi perubahan itu. Didorong oleh tekanan ini dan munculnya pengetahuan bahwa wanita tidak dapat hamil menumbuhkan budaya paternitas pada peradaban umat manusia. Sayangnya sikap manusia dahulu yang cenderung emosional dan mengagungkan suatu penemuan menyebabkan fanatisme. Sifat fanatik ini memunculkan perlakuan yang mendiskreditkan budaya yang lain, terutama yang berseberangan faham. Inilah yang menyebabkan budaya maternitas di anggap buruk. Imbasnya pun pada pandangan terhadap kaum wanita. Implikasinya bisa berupa pelecehan dan diskriminasi, terbukti pada budaya perbudakan.
Pandangan keberadaan dan mempresepsikan wanita dalam konteks Indonesia tidak berhenti pada pandangan ini saja. Budaya plural yang ada di Indonesia serta pengaruh budaya asing yang masuk ke tanah air. Terutama budaya yang dibawa oleh penganut hindu-budha. Budaya yang dibawa menekankan perbedaan derajat manusia dalam berbagai kasta. Lebih parahnya, penggolongan ini didukung dengan presepsi perbedaan yang mencolok antarkasta. Sehingga, terbentuklah hierarki pada status manusia dalam bermasyarakat. Hierarki ini bersifat tetap dan sakral, untuk membedahnya pun akan timbul konflik didalamnya. Bahkan, ketika suatu anggota ingin membaur dengan kasta lain (melalui pernikahan) tidak dapat diakomodir karena kastasentrik yang kuat. Kasta sentrik ini timbul karena sarana penyebaran budaya ini mengakar melalu agama yang bernuansa bersifat dogmatis. Dalam keadaan ini masyarakat pun tidak dapat melawan, karena perlawanan merupakan suatu hal yang tabu.
Dalam perjalanannya, manusia Indonesia sebenarnya telah mendapatkan rumusan yang tepat dalam mengatasi permasalahan ini. melalui pemikiran empu tantular yang ditulis dalam kitab sutasoma, bhineka tunggal ika menggema menjadi sebuah jalan alternatif pemecahan masalah perbedaan presepsi akan fungsi manusia dalam bermasyarakat. Sayangnya, hal ini ditafsirkan secara keliru oleh Gadjah Mada. Semangat kebhinekaan yang seharusnya ditekankan justru dikesampingkan demi munculnya semangat kepanunggalan (tunggal ika). Implikasinya Gadjah Mada mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menaklukkan bermacam-macam kerajaan dan wilayah guna mempersatukan perbedaan-perbedaan itu. padahal penyatuan presepsi yang baik bukan dengan cara pemaksaan kehendak bahwa suatu presepsi merupakan yang terbaik dari yang lainnya, Namun akulturasi budaya, pemikiran dan pandangan yang baik melalui penghargaan budaya, pemikiran dan pandangan tersebut sehingga terjadi penyerapan nilai-nilai yang baik antar budaya, pemikiran dan pandangan tersebut. [lizam]


2 komentar:

  1. Didorong oleh tekanan ini dan munculnya pengetahuan bahwa wanita tidak dapat hamil menumbuhkan budaya paternitas pada peradaban umat manusia--> aku ngga ngerti point ini zam. hehehe...

    hemm, lalu, bagaimana pandangan tentang wanita di era kontemporer sekarang? :D

    BalasHapus
  2. Saya tunggu posting selanjutnya ya Zam (dan teman sastramu itu). Mari kita bangun budaya nulis.

    btw, blognya ditata dengan baik ya, agar enak dibaca. Kalau perlu bantuan untuk menata blog, saya Insya Allah bisa bantu.

    BalasHapus