Di dunia modern ini, uang selalu melekat dalam realita kehidupan setiap orang. Tak seperti zaman peradaban lama, keberhasilan manusia diukur dengan keberhasilannya mengumpulkan barang. Selain itu, ketika kita ingin memiliki suatu barang, bersiaplah untuk mengorbankan sejumlah barang kita untuk dipertukarkan. selanjutnya dapat dibayangkan setiap orang akan merasakan bagaimana sulitnya menukar suatu barang ketika barang-barang tersebut dirasa tidak memenuhi kebutuhan masing-masing pihak. Yah, fungsi barang kala itu tidak hanya menjadi alat pengumpul kekayaan tetapi juga alat tukar. Seiring bertambah moncernya ilmu pengetahuan manusia, muncul uang sebagai pengganti fungsi barang di atas. Dan uang ini merupakan representasi nilai yang melekat dalam suatu barang.
Pada saat ini, persebaran uang pada setiap orang sudah sulit menghitung berapa rasionya. Ada yang memiliki uang dalam jumlah banyak, adapula yang sedikit. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Kemudian bagaimana kita menyikapinya? Apa yang dijadikan standar kekayaan seseorang? Bagaimana hukum menambah kekayaan bagi orang yang sudah kaya dalam prespektif islam?.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan di atas, lebih baik bagi kita untuk mengetahui standar kekayaan seseorang dalam prespektif islam. Dalam islam sendiri membagi standar kekayaan menjadi dua(Abdullah Lam:fiqih finansial). Yaitu standar kekayaan minimal dan standar kekayaan maksimal. Standar kekayaan minimal pada dasarnya merupakan standar kecukupan manusia. Kriteria standar kecukupan ini adalah segala sesuatu yang memenuhi segala kebutuhan pokok manusia dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak. Tingkat berkecukupan ini bukan hanya sampai pada bisa bertahan hidup. Untuk itu para ulama menekankan bahwa standar kecukupan akan berbeda-beda setiap zaman, tempat dan orang-orangnya. Selanjutnya mereka memasukkan beberapa kebutuhan pokok standar yang bisa dijadikan acuan. Antara lain: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, biaya pendidikan, pelunasan hutang, biaya kesehatan, biaya pernikahan dan alat-alat produksi.
Sedangkan standar kekayaan maksimal, ada dua pendapat ekstrim. Madzhab Abu Dzar mengungkapkan bahwa standar kekayaan maksimal adalah sejumlah harta benda yang dapat memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya. Sedangkan selebihnya diberi hukum haram. Landasan yang dipakai oleh Abu Dzar adalah Surat At-Taubah: 34-35. Pemahaman Abu Dzar dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa kelebihan harta yang dimiliki seseorang bukanlah disimpan akan tetapi harus digunakan dijalan Allah. Pendapat kedua adalah pendapat jumhur ulama. Mereka berpendapat bahwa batasan maksimal dari kekayaan seseorang dalam islam tidak ada, karena islam tidak melarang seseorang mengumpulkan harta benda semampunya selama dia menjaga kaidah-kaidah dalam berusaha dan menggunakan hartanya.
Dalam pandangan islam sendiri ada berbagai macam hukum mencari kekayaan. Ada kalanya mencari harta hukumnya wajib, sunnah, mubah, bahkan sampai makruh dan haram(Abdullah Lam:fiqih finansial). Harta wajib didapat ketika hal itu ditujukan untuk mencukupu diri sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungan serta untuk memenuhi kewajiban yang menjadi hak orang lain. Hukum mencari harta berubah menjadi sunnah ketika seseorang berusaha menambah hartanya meski telah mencapai standar kecukupan dengan niat menolong fakir miskin, anak yatim dan lain-lain. Mubah dihukumkan bagi pencari kekayaan yang ingin melapangkan kehidupannya walaupun ia sudah berada dalam standar kecukupan. Proses pencarian kekayaan yang berakibat ditinggalkanya ibadah sunnah menjadikannya makruh hukumnya. Dan terakhir pencarian harta dengan cara yang haram, dapat meninggalkan ibadah wajib dan nantinya harta digunakan untuk kegiatan maksiat menjadikan mencari harta hukumnya haram.
Ulasan di atas ini setidaknya telah memberikan gambaran bagi kita bagaimana seharusnya kita menyikapi kondisi keuangan kita. Ketika kita berada di posisi sebagai seorang hartawan, syariatpun tidak membatasi kita untuk menghentikan pencarian kita akan harta. Bahkan menjadi hal yang sunnah ketika harta tersebut diniatkan untuk kemaslahatan umat. Bagi kita yang berada di posisi sebagai seorang “fakir”, penuturan ini bisa dijadikan sebagai api semangat karena mencari harta untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungan adalah sebuah kewajiban. Selanjutnya kata-kata “fakir dekat dengan kafir” tidak melekat pada kaum muslim. Persiapan awal yang harus direnungkan oleh setiap umat islam adalah bagaimana menyiapkan sebuah sistem yang mengakomodir ketentuan syariat maupun fenomena perubahan alat hitung kekayaan dari barang menjadi uang. Sehingga keberadaan uang menilai sebuah kekayaan riil, bukan menilai nilai dari kekayaan riil tersebut (melalui jual-beli uang). Dampaknya, pengukuran kekayaan akan menjadi lebih fair ketika hal yang diukur merupakan suatu yang Nampak/riil. Kemudian apakah sistem ekonomi islam dapat mengakomodir hal ini. wallahua’lam.[lizam]
Minggu, 14 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar